PRESS RELEASE DISKUSI PUBLIKMENYIKAPI KASUS PELECEHAN SEKSUAL SDN KAUMAN 3 MALANG




MIMESIS- (28/2) Kasus pelecehan seksual di SDN Kauman 3 yang akhir – akhir ini mencuat di media tentu menarik perhatian masyarakat dan menuai berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Ketidake  Menyikapi hal tersebut, LPM Mimesis, mencoba membuat wadah diskusi terkait sikap atas terjadinya hal tersebut dengan menghadirkan dua narasumber dari bidang terkait, yakni Rizki Novianto, selaku Koordinator DPM Fakultas Hukum UB dan Putri Malahati, S.Psi, selaku pengajar di Sekolah Baruku di Ruang 2.7 FIB B UB pada 27 Februari 2019
Kegiatan diskusi dibuka dengan pemaparan kejadian pelecehan seksual serta pengertian tindak kekerasan serta pelecehan seksual, oleh Sdr. Rizki N. Kasus SDN Kauman 3 Malang ini digolongkan tindak kekerasan seks karena adanya pelecehan, yang terjadi kepada beberapa murid, dan dilakukan oleh seorang guru olahraga. Kasus ini terungkap ke publik setelah adanya pengakuan dari seorang siswi yang mengaku telah diperlakukan tidak senonoh oleh oknum guru terkait, IM. Setelah ditelusuri lebih lanjut korban tak hanya satu, namun bermunculan korban – korban lain yang mendapat perlakuan tak pantas tersebut. SD Kauman 3 berusaha untuk menyikapi hal tersebut dengan berupaya menyelesaikannya secara kekeluargaan, namun ternyata upaya SD Kauman 3 tak berhasil, dan kasus malah mencuat ke publik .
Setelah adanya gambaran umum atas kasus terkait, diskusi dilanjutkan dengan penyampaian perundangan – perundangan atas kasus terkait.  Dalam segi hukum, tersangka dapat dijerat pasal 76E dengan hukuman penjara minimal lima tahun dan maksimal lima belas tahun. Hukuman dapat diperberat dengan tambahan hukuman penjara sebanyak 1/3 karena IM seorang guru, dengan kemungkinan dapat dipenjara hingga 20 tahun. Mengenai tuntutan untuk pencopotan dari pekerjaan, hal tersebut saat ini tidak dapat dilakukan, karena IM belum dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan. Banyak kasus serupa dalam institusi-institusi lain yang mungkin tak terungkap, salah satu penyebabnya adalah  keinginan instusi melindungi imagenya daripada melindungi penyintas (korban).
Diskusi sesi kedua dilanjutkan oleh pemateri kedua, Putri Malahati, S.Psi yang mencoba membahas tindak pelecehan seksual dari kacamata pandang psikolologi. Kejadian ini disebut juga pedofilia; pedofilia adalah gangguan jiwa yang dapat diadili karena seorang pedofil melakukan kekerasan seks dengan kesadaran.
Dari data yang dihimpun komnas anak bahwa terdapat 52% kasus kekerasan seks dari 965 kasus pelanggaran hak anak. Kasus seperti ini banyak sekali terjadi karena adanya pedofilia dan ketidaktahuan anak dikarenakan minimnya pendidikan seks. Tindak kekerasan atau pelecehan juga dapat berdampak pada penyintas, seperti munculnya perasaan terancam, adanya trauma berhubungan seks karena kecemasan, memicu homoseks, adanya perasaan tidak bernilai, perasaan malu karena stigma masyarakat dan korban dapat menjadi pelaku.
Menyikapi hal tersebut, maka pendidikan seks sangat penting untuk diberikan kepada anak. Adapun beberapa cara memberikan pendidikan seks pada anak yaitu yang diungkapkan Sdri. Putri Malahati seperti:
1) Memperkenalkan jenis kelamin pada anak.
2) Memberi tahu area tubuh mana saja yang boleh dilihat dan disentuh orang lain.
3) Memberi tahu area tubuh mana saja yang dapat dilihat dan disentuh orang tua.
4) Cara lain juga bisa dimulai dengan mengajarkan kemandirian mandi dan mengajarkan anak untuk tidak menyebut alat kelamin dengan nama nama lain.
Terlepas dari ketidakjelasan kasus ini, penanganan dan proses hukum yang adil dan tepat sangatlah dibutuhkan. Sesuai ketentuan hukum, pasal 76 E, tersangka dapat dijerat hukuman penjara selama 20 tahun, sebab berdasarkan pasal tersebut tersangka dapat dituntut maksimal 15 tahun penjara dengan tambahan 1/3 dari masa tuntutan karena IM adalah seorang guru. Tindakan Diknas Kota Malang untuk menonaktifkan tersangka selama proses hukum, juga dinilai kurang efektif, tindakan pencopotan jabatan-lah yang seharusnya segera dilakukan, setelah adanya putusan pengadilan menyatakan tersangka bersalah. Selain tindakan pada pelaku, adanya pendampingan psikologis terhadap para korban serta pendidikan seks terhadap anak baik itu dalam lingkungan keluarga maupun sekolah juga sangatlah penting.
Dibutuhkan kesadaran bersama untuk memantau perkembangan proses hukum agar dapat berjalan dengan adil serta agar dikedepannya tidak terjadi penutupan kasus, terlebih dengan melindungi image institusi, yang akhir – akhir ini sedang marak, karena hal tersebut hanya semakin menyuburkan tindak kejahatan seks dan membungkam korban.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koran Dinding Edisi I tahun 2017

Ketentuan Lomba Komik Strip